Cerita Sex Rayuan Begitu Menggoda Sampai Bersetubuh

Saat itu, saya sekedar hanya main-main memeriksa nomor-nomor cewek yang terdapat di sana. Dan, voila! Kusaksikan nama KIRANI. Ah, pertama kalinya sudah pasti saya tidak mengharap banyak. Siapa yang tahu toh gantenggnya seperti kuntilanak, hueheuheuhe… tetapi sesuatu hari, tapatnya tanggal 9 Desember 2015, karena nganggur setelah, dari sisi ingin rasakan `fresh meat’, kucoba mengontak nomor teleponnya. “Hallo.” Lah kok suara bapak-bapak? “Selamat malam, dapat dengan Kirani, Pak?” sahutku dengan suara sesopan mungkin.

Cersex Bersambung“Dari siapa?” jawab suara di seberang. “Dari Ray, Pak.” Dan bapak itu mintaku menanti.”Halo?” Eh merdu suara sang `neng’ ini. Dan karena dia di dalam rumah, walau sebenarnya ini malam minggu, berarti… “Halo? Kirani?” tanyaku dengan suara dipermanis. “Siapa ini?” gadis itu menanyakan. “Ray.” Jawabku singkat. Mekanismenya ini, kita tidak dapat membuat cewek tertarik dengan konversasi kita cukup dengan memakai investigasi lapuk seperti `rumahnya di mana’, `kuliahnya di mana’,`udah punyai kekasih belum’.

Tetapi kita tentu bisa mengundang perhatian seorang cewek jika kita menggempurnya dengan narasi atau pertanyaan detil di luar jati dirinya. Dan itu yang kulakukan, tanpa memberikannya peluang untuk bertanya jati diriku. “Ah, hanya Ray saja.” jawabku, dan secara cepat kulanjutkan, “Saya ingin curhat…” dan biarkan kebingungan dan merasa lucu sendiri, pada akhirnya (90% cewek selalu ini) dia berbicara, “Oke dech, sharing apa?” Masuk, kan? Jika ia tidak katakan demikian, tinggal saja.

Cewek semacam itu tidak akan dapat masuk jebakan… hehehehe. “Ini, Rani…” dan aku juga mengarang narasi mengenai begitu cintaku dikhianati seorang gadis yang telah kukasihi beberapa tahun lama waktunya, begitu hatiku bersedih memikirkan semua pengorbananku percuma dan lain-lain (dasarnya yang bersedih-sedih dan semua salah sang cewek). “…begitu.” saya akhiri ceritaku, “Bagaimana menurutmu?” “Bagaimana, yaa…” suaranya kedengar sangsi, “Menurutku sich, yang keliru ceweknya…” Sampai di sini saya menarik napas lega, menjadi saya telah sukses menarik simpatinya atas pasienanku.

Dan kami bercakap-cakap lumayan lama berkenaan permasalahan itu hingga kemudian dia bertanya lagi, “Ray siapa sich? Tahu nomor teleponku darimanakah?” Tetapi pasti dengan suara lebih dekat. Oh, satu perihal yang selalu kupegang, jangan sampai kebanyakan narasi berkenaan diri kita, karena dengar narasi musuh berbicara secara baik akan memberi kesan-kesan yang bagus juga, narasi berkenaan diri kita malah akan memiliki nuansa menjemukan . Maka kujawab apa yang ada dan kuajukan pertanyaan universal yang membuat banyak omong kepadaku, hingga kemudian dia menanyakan sendiri, “Dih, saya cerewet yah?” Oh, pasti tidak.

Ceritamu bagus sekali, meskipun saya mengantuk dengarnya, dan rokokku nyaris habis. Hehehehe . Maka saya sukses memperoleh alamatnya, cukup, jangan mendesak selanjutnya, kukatakan saya akan meneleponnya esok, dia sepakat, dan tanpa menanti semakin lama, saya segera ke arah jl. Gubeng Airlangga xx no. xx. Tidak singgah, saya cuma menyaksikan dan melaluinya saja. Rileks, tidak harus tergesa-gesa. Dan dibanding nganggur, saya segera pergi ke kost-kosan te-te-em (rekan tetapi mesra) ku di Barata Jaya xx. Ajaknya keluar jalanan dan merayunya sampai ia ingin mengisap penisku dalam mobil.

Esok harinya, pas jam tujuh malam, sama sesuai janji tempo hari, saya memperlancar gempuran selanjutnya. Ini kali kuawali secara menceritakan mengenai sebuah tubrukan maut yang entahlah di mana (saya lupa, masalahnya saya cuma mengarang saja, hehehe), yang membuat tertarik, lantas menarik simpatinya dengan pengalamanku dengan bekas pacarku, sang narkoba, dan mengulas topik persoalan tempo hari, hingga saya sukses bicara dengannya lebih kurang satu jam 1/2. Seperti umumnya juga, cewek akan merasa dekat jika kita dapat membuat ketawa, suka, dan banyak omong.

Sehingga… “Rani, saya ingin tahu mukamu loh.” kataku mendadak. “Kapan? Saat ini? Sudah malam kembali.” kudengar Rani berbicara di seberang . Maka sudah dibolehkan, kan. “Esok, jam lima sore.” Jangan membuat cara sangsi, dan tentukan waktu yang tidak membuat berprasangka buruk. “Okeh, tidak pa-pa. Kutunggu.” Perbincangan yang lama akan membuat seorang lupa saat janji, hingga Rani lupa jika esok masih puasa, menjadi saya dapat tawarkan buka puasa bersama setelah tiba di kosnya. Cukup cerdas? Sudah pasti. Oh, sejumlah ini hari kukonsentrasikan energiku untuk melafalkanrnya, menjadi sesaat saya tidak pedulikan tuntutan gairahku, paling tidaklah sampai saya memperoleh Rani.

Semua jalan lancar-lancar saja. Jangan sampai memperlihatkan peralihan dari style berbicara di telepon dengan waktu berjumpa, sejelek apapun itu kemungkinan yang hendak terjadi. Dan rupanya, wow, benar-benar jauh dari jelek. Bingung mengapa temanku dapat memperoleh no. telepon sang Rani. Anaknya elok, kulitnya putih bersih, rambutnya bergelombang mengingatiku ke Bella Saphira, cuma dadanya sedikit kecil untuk typeku, selainnya oke-oke saja, bahkan juga benar-benar oke. Kuusahakan membuat dia ketawa terus, dengan mengarang beberapa cerita konyol dan mainkan raut mukaku. Matanya berbinar-binar, sebagai pengakuan keakrabannya denganku.

Dan saat saya mengingatinya di saat berbuka puasa, sesudah menantinya shalat (saya shalat genting di mobil, hehehe), kamipun melaju cari tempat makan. Oh, sudah pasti kuusahakan cari tempat kelas menengah yang memunculkan kesan-kesan menarik, seperti Wapo Airlangga, contohnya. Sepanjang perjalanan, saya nampaknya sukses membuat kagum dengan sikap gentle-ku. Dia tersenyum manis saat kuberikan sebatang Toblerone (yang telah kusiapkan sebelumnya), dan berterima kasih saat kubukakan pintu mobil buatnya. Dan saat saya bertanya kapan bertemu kembali (bukan `boleh bertemu kembali?’), dia segera menjelaskan, “Jumat saya kosong.” Dan saksikan, semua benar-benar perfect! Hari Jumat saya ajaknya jalan, secara lebih dulu memberi argumen jika saya paling jemu duduk terus, dan dengan keakraban yang telah terikat, betapa gampangnya ajaknya keluar.

Hari itu saya ajaknya ke Pizza Hut di Plasa Tunjungan sekedar untuk makan dan minum salad, karena kami telah buka puasa masing-masing saat sebelum saya ke kosnya. Ini kali pembicaraan kami sekitar type cewek idamanku, dan type cowok idamannya. Dan sudah pasti, dengan jadi pendengar yang bagus, saya dapat menyamakan type cewek idamanku dengan karakter-sifatnya yang telah kukira-kira dari beberapa ceritaya sepanjang sekian hari lalu. Dan saya tahu, type cowok idamannya tentulah telah kupenuhi semua, terkecuali study sudah pasti, masalahnya saya paling malas kuliah. Saya tahu, kemungkinan untuk me’nembak’nya waktu itu masih 80% sukses . Maka kuputuskan untuk meredam sabar.

Saya cuma memancing dengan kata-kata, “Sedap yah, punyai cewek kaya kamu.” Dan itu dapat membuat tersanjung, melambung tinggi ke awang-awang… dan… brukkk? Oh, itu kelak saja. Sabtu besoknya, nach ini yang hebat. Jam sembilan malam, saya meneleponnya mendadak, yang sudah pasti membuat bertanya. Dan kubilang, ada poin utama yang membuatku harus ke situ saat ini . Karena itu `hal penting’ pada akhirnya dia siap menjumpaiku. Hohoho… sesampai di kosnya, saya segera berlutut, tanpa memedulikan beberapa temannya yang sedang menonton TV di ruangan tamu. Menggenggam tangannya dan meminta jadi kekasihku. Hehehe, mukanya tersipu, dan saya tahu pada kondisi ini, disaksikan oleh beberapa temannya, cuma 1% kemungkinanku untuk ditampik. Dan demikianlah, dia turut berlutut dan mengganggukkan kepalanya, disertai suit-suit beberapa temannya yang melihat kami.

Dengan limpahan kegembiraanku (sukses! sukses!) kupeluk pinggangnya yang ramping dan kuangkat tinggi-tinggi, membuat menjerit-jerit kecil dan beberapa temannya ketawa. Saya, langsung pulang, biarkan terlarut dalam peristiwa yang mungkin untuknya benar-benar hebat, hahaha… jahatnya saya. Minggu besoknya, kami berdua habiskan waktu di Dunkin’s Donuts, sekalian menceritakan `ngalor-ngidul’. Oh, Rani yang polos. Tarkadang tersisip rasa menyesal… saat? Hohoho… Hari Selasa, pekan kemarin, saya sukses mencium bibirnya, untuk ini, saya selalu jaga rekam jejakku yakni tanpa harus ajukan pertanyaan bodoh seperti “bisa kucium bibirmu?”. Jika ingin cium, ya cium saja. Itu prinsipku, untuk apa bertanya? Jumat tempo hari, saya ajaknya shalat tarawih.

Kemudian, saya ajaknya berputar di jalanan Surabaya, sekalian merengkuh dan nikmati lengan kiriku yang tertekan `susu’-nya. Dan sampai juga kami ketika setan melalui, di mana kami diam nikmati `kebersamaan’ kami. Nach, saat tersebut kubisikkan di telinganya, “Rin, ke rumahku yok.” Rina cuma menggelendot manja di dekapanku. Ah ya, saya ada di Surabaya dengan mengontrak sebuah rumah yang cukup di wilayah Rungkut Keinginan. Saya tinggal dengan 2 orang temanku. Yang sudah pasti telah kusuruh ngacir saat saya stop untuk isi bensin. Lalu… Rani tidak meronta saat sekalian berdiri kupeluk dan kulumat bibirnya.

Saya sebelumnya tidak pernah tutup mataku jika sedang berciuman, hal yang bodoh, karena menyaksikan matanya yang terpejam dan hidungnya yang kembang-kempis sebuah kepuasan tertentu buatku.”Ahh…” kudengar napasnya yang mendesah saat kupegang dan kuremas payudaranya dari susunan pakaiannya, “Oohhh.. hhh…” kurasakan napasku sedikit mengincar, kumasukkan tanganku ke pakaiannya, meraba-raba cup BH- nya, nikmati kekenyalan `bemper’nya. Kubiarkan saja tangannya bergantung di beberapa sisi badannya, apalagi, Rani (sama sesuai pernyataannya) kan masih hijau dalam pacaran.. hehehe… kebingungan kali ia harus ditempatkan di mana tangannya, tidak sama Eci yang tentu sudah langsung mengambil celanaku. “Mmmhh…” kulumat bibirnya yang terbuka, dan kutekan bokongnya dengan tangan kananku hingga menekan penisku yang mulai `siap grak’. “Hhhh…” embusan napasnya berasa mulai cepat… dengan masih tetap merengkuhnya (dan tanganku tetap meremas payudaranya), kubimbing ia masuk kamarku. Toh tidak ada orang, menjadi kubiarkan pintu kamar terbuka.

Kududukkan ia di pinggir ranjangku, sip. Kuangkat kakinya dan kujatuhkan kepalanya hingga dia ada dalam posisi telentang, sedangkan saya berjongkok di samping tempat tidur. Kulumat kembali bibirnya, sedangkan tangan kananku mengusung pakaiannya sampai BH-nya menyembul keluar, dan menyisipkan tanganku di BH-nya, rasakan putingnya yang mulai mengeras di ujung jari-jariku. “Ahhh… uhhh…” Rani mulai mendengus-dengus nikmati sentuhanku.

Tanpa berpikir panjang, langsung kuraih kancing celananya dan menarik reitsletingnya, ehk, tangannya memegang tanganku, matanya tiba-tiba terbuka… ups… “Sssshh…. kamu yakin kan dengan aku?” bisikku di bibirnya. Dan kulumat bibirnya saat sebelum dia sebelumnya sempat menjawab apapun itu. Kurasakan pegangannya pada tanganku melemas, matanya mulai terpejam kembali . Maka kuteruskan saja. Kumasukkan tanganku di lipatan celana dalamnya yang warna krem, rasakan bulu-bulu vaginanya yang lebat, memijat-mijat permukaan vaginanya, rasakan tanganku basah oleh `cairan’nya.

“Aahhh… hhh… mmm…” kudengar napasnya yang mendesah-desah dan matanya mengerut-kerut saat kujepit labia mayoranya dengan jari-jariku, memainkan, memijat-mijatnya, dan kepalanya ketarik ke belakang saat jemari tengahku temukan kelenjar vaginanya dan menekan-nekan dan menggosok kelenjar itu. Aku juga terbenam dalam kepuasanku sendiri, `adik’ku telah tegang sekali, menjadi aku juga bangun berdiri, menyaksikan matanya yang tetap terpejam dan bibirnya yang tergigit. “Ray.. hhhh…” kudengar dia mengeluhkan sekalian melihatiku saat kutarik celananya berikut celana dalamnya.

Bulu-bulu vaginanya kelihatan lebat dengan sela yang mengundang, bibir vaginanya terlihat memeras, mungkin karena gesekan dan pijatan jariku barusan. Dan tanpa menanti reaksinya selanjutnya, kumasukkan kepalaku ke lipatan pahanya dan menjilat penuh gairah, “Aahhkkk… nnggghh…” kudengar dia mengeluhkan, tubuhnya bergerak, pahanya menjepit kepalaku saat kugerakkan lidahku menjilat-jilat kelenjar vaginanya.

Kunikmati rasa anyir yang masuk mulutku, kuangkat tanganku, raih ke-2 buah dadanya sekalian, dan menekan-nekan memijat-mijat, membuat menjambak- jambak rambutku, bokongnya mulai terangkut dan bergerak liar. Kutinggalkan vaginanya, dan bangun berdiri, lantas melepaskan bajuku dan celanaku. Oh… Rani ternyata cenderung lebih memilih tidak untuk melihatku telanjang. Ya telah, pikirku. Kubuka pahanya dan kutempelkan tangkai penisku ke atas vaginanya. Mmmhhh… kunikmati benda yang empuk itu menekan penisku.

Kubiarkan saja. Kuciumi bibirnya dan kuangkat punggungnya, melepas hubungan BH-nya, dan mengusung pakaiannya melalui kepala dan tangannya, sedangkan Rani cuma pasrah saja, sekalian kadang-kadang mengeluhkan nikmat. “Ahhh…” kuhembuskan napasku penuh kepuasan saat kujatuhkan badanku melekat ke badannya yang telanjang. Kugerak-gerakkan pinggulku, mambuat penisku menekan dan menggesek kemaluannya. Kuciumi matanya, hidungnya, bibirnya, dagunya, mencari lehernya, ke dadanya, kuremas payudaranya dan kuhisap putingnya yang warna coklat muda dengan berganti-gantian.

Itil V3
“Ray… ahh…” kudengar Rani menyebut-nyebut namaku penuh kepuasan, kutekan penisku semakin kuat, menggesekkannya mencari sela vaginanya, licin, kadangkala kutarik penisku cukup turun jauh, dan menekan maju, hingga menekan lubang vaginanya dan menyibakkan bibir-bibirnya ke samping. “Ahhhh… kkk… hhh… aahh…” napasku mengincar, dadanya berasa hangat di dadaku, kuciumi kembali bibirnya yang terbuka tersengal-sengal, kuangkat sedikit dadaku, biarkan ujung- ujung putingnya sapu kulitku, kupegang bokongnya dengan tanganku dan kutekan penisku. “Rani… uhhh…” saya mulai terikut gairahku sendiri.

Kutarik kembali penisku, dan ini kali memencetnya cukup kuat, dan (saya sendiri terkejut) Rani menjerit kesakitan saat ujung penisku tiba-tiba masuk sama persis di lubang vaginanya. “Ray… jangan…” bangsat… kepalang tanggung. “Rani… please…” desahku, ujung penisku tetap menancap sedikit di ujung lubangnya yang sempit. “Ray… jangan, Ray…” Shit… kutekan lebih dalam… Rani menjerit kecil, “Aaaachkkk… nnggghh…” kusaksikan air mata menetes di pipinya. Shit… shit…. kugigit lehernya dan.. shit… kutekan satu kali lagi lebih dalam. “Ray… hhkkk…” Kutarik.. kutekan . “Rani… uhhhh…” Ahhkhkkh.. dan segera kutarik keluar saat sebelum spermaku masuk vaginanya.

Kulepaskan gigitanku, rasakan penisku yang melekat di sprei saat kuturunkan bokongku. Keringat membasahi badanku. v”Rani..?” kucoba panggil namanya, “Rani…??” “Rani..!!” kuangkat badanku, dan kusaksikan wajahnya yang memeras. Buliran air mata terlihat jatuh dari ujung matanya, Rani menggigit bibir bawahnya, matanya terpejam dan alisnya mengerut, hidungnya kembang-kempis.

Shit… kulirik ke bawah dan betapa kagetnya saya menyaksikan setitik gumpalan darah kehitaman mencemari ujung penisku yang mulai menjadi kecil. “Rani… sakit ya?” tanyaku sekalian kuturunkan tanganku sentuh sela vaginanya, menggosoki sesaat. Kusaksikan mata Rani tetap terpejam dan air matanya masih keluar, bibirnya tergetar. Kugosok kembali sela vaginanya dengan pergerakan memijat dan kugosokkan pada kulit bokongku. “Rani… sori yah… sakit?” terus kuulang-ulang pertanyaan itu sekalian masih tetap menggosoki, pada akhirnya kusaksikan tangannya terangkut tutupi matanya, dan Rani menggangguk perlahan-lahan.

“Uuuuh.. sayang…” kukecup manja bibirnya. “Kusayang, yah?” tanyaku perlahan dan ia menggangguk. Kuturunkan kepalaku ke perutnya, turun terus hingga saya bisa menyaksikan secara jelas keadaan vaginanya. Wah, cukup remuk. Kuperhatikan secara cermat, pastikan tidak ada bintik yang melekat, kubelai noda-noda yang masih ada dengan tanganku, membaurnya sama air liurku, dan menggosokkannya di bokongku sekalian berbicara, “Disayang, yaa… cup cup…” Sebentar-sebentar kutekan permukaan vaginanya, memastikam cairan itu tidak keluar kembali.

Sesudah percaya semua bersih. Kutarik badanku ke sebelahnya, kupeluk Rani dengan mesra, dan kubisikkan di telinganya, “Rani… kamu tahu apakah yang membuatku suka sekarang ini?” Rani geleng-geleng kurang kuat, tangannya tetap tutupi matanya. “Hihihi… benar ingin tahu?” Rani diam saja… pundaknya tetap bergerak. “Tidak sampai jebol kok… tuch saksikan saja… tetap bersih…” Dan Rani mengusung tangannya, ketawa sekalian menangis dan merengkuhku.

“Kan saya telah katakan tadi… yakin donk sama Ray,” ucapku 1/2 berbisik, dan kukecup keningnya. Ahh… Rani. Uwaahh… saya mungkin harus mengucapkan syukur entahlah pada setan mana masalahnya spreiku tidak sampai ternodai, dapat cialat dech jika Rani menyaksikan ada bintik di sana. Dan… satu kembali nama perawan masuk ke dalam buku harianku.

Comments are closed.