Disini awalnya dari pokok cerita riil saya. Bu Ning sebagai biasanya wanita Jawa 1/2 baya dan kebenaran belum sempat dikarunia anak selalu menggunakan kebaya dan rambutnya disanggul, hingga performa selalu anggun. Memiliki tubuh sekal, pinggul dan bokongnya yang lebih besar, sukai tersenyum dan baik sekali. Malam itu kurang lebih jam 19:00 Pak Edy sebagai petugas kantor pos harus lembur malam karena akhir Desember banyak tugas yang perlu dituntaskan. Sementara saya karena kecapaian sesudah tempuh perjalanan panjang tertidur nyenyak di dalam kamar yang sudah disiapkan Bu Ning.
Cersex Bersambung – Kurang lebih jam 11 malam saya terjaga untuk ke kamar kecil yang berdi belakang rumah, dan saya harus melalui ruangan tamu. Di ruangan tamu saya menyaksikan Bu Ning sedang melihat TV sendiri sekalian tiduran di atas bangku panjang. “Ingin ke mana Dik..? Ingin keluar tujuannya..?” bertanya Bu Ning kembali. Karena ternyata Bu Ning tidak memahami, pada akhirnya saya ucapkan jika saya ingin kencing. “Ohh.., jika demikian agar Ibu antar.” ucapnya. Waktu mengantarkan saya, Bu Ning (mungkin berpura-pura) jatuh dan menggenggam bahu saya.
Dengan cepat saya segera kembali dan merengkuh Bu Ning, dan ternyata Bu Ning langsung merengkuh dan mencium saya, tetapi saya berpikiran jika ini cuma pertanda terima kasih. Sesudah kencing saya kembali ke kamar, tetapi Bu Ning ajak saya untuk menonton TV. Posisi Bu Ning saat ini tak lagi tiduran, tetapi duduk selonjor hingga kainnya terangkut ke atas dan terlihat betisnya yang putih bundar. Sebagai pemuda dusun yang polos dalam soal seks, saya tidak memiliki pikiran yang serba aneh, dan cuma melihat sampai acara usai dan kembali lagi ke kamar untuk tidur kembali. Pagi-pagi saya bangun mengangsu air di sumur isi bak mandi dan menolong Bu Ning untuk membersihkan, sedangkan Paman dan Tante belum datang dari Surabaya karena mereka mencari saya disitu.
Om Edy telah pergi kembali ke kantor, tinggal saya dan Bu Ning di dalam rumah. Bu Ning masih tetap kenakan sanggul. Beliau tidak berkebaya tetapi menggunakan daster yang kendur, duduk di atas kursi kecil sekalian membersihkan. Ternyata Bu Ning tidak menggunakan CD, hingga kelihatan pahanya yang gempal, dan saat tahu jika saya sedang memerhatikannya, Bu Ning menyengaja merenggang pahanya, hingga terlihat terang bukit vaginanya yang banyak bulu yang cukup lebat, tetapi sampai usai membersihkan saya tetap berlaku biasa. Sesudah membersihkan, Bu Ning mengolah, saya asyik dengarkan radio, saat itu tidak ada tayangan TV pagi dan siang hari. Siangnya kami makan bersama Om Edy yang tiap hari pulang ke rumah untuk makan siang.
Malam harinya Om Edy kembali lembur, dan Bu Ning seperti umumnya kenakan lagi kebaya dan sanggul, sekalian menonton TV. Di luar hujan benar-benar lebat, hingga membuat kami kedinginan, dan Bu Ning minta saya untuk mengamankan semua jendela dan pintu. Di saat saya kembali lagi ke ruangan tamu, ternyata Bu Ning tidak terlihat.
Saya jadi kebingungan, saya check apa ia berada di kamarnya, rupanya tidak ada. Saya kembali ke kamar saya, rupanya Bu Ning sedang tiduran di dalam kamar saya, dan berpura-pura tidur dengan kain yang terkuak ke atas, hingga sebagian besar pahanya yang putih mulus kelihatan terang. Saya menggugah Bu Ning, tetapi bukanlah bangun, justru saya tarik ke samping tempat tidur, dipeluk dan bibir saya diciuminya. Karena saya tetap berlaku biasa, Bu Ning buka kebayanya dan minta saya untuk mencium buah dadanya yang besar sekali dengan puting hitam yang melawan. Saya mengikuti dengan hati takut, dan rupanya ketakutan saya membuat Bu Ning makin ingin tahu dan minta saya untuk buka pakaian dan celana panjang, hingga tinggal CD, sedangkan Bu Ning mulai buka kainnya.
Bu Ning mulai mencium adik kecil saya, dan minta saya lakukan hal yang masih sama, dengan mencium vaginanya yang harum dan menggairahkan dengan berganti-gantian. Sekalian mencium vaginanya, tangan saya diminta meremas buah dadanya yang tetap keras dan terkadang memilin putingnya yang mulai mengeras, napas Bu Ning mulai berasa cepat, dan minta saya untuk buka CD dan mencium benjolan daging yang tersembul di mulut vagina.
Saya lakukan sama sesuai perintah Bu Ning, dan rupanya berasa basah di hidung saya karena jumlahnya cairan yang keluar vagina Bu Ning, sedangkan Bu Ning mendesis dan mendesah kenikmatan dan kadang- terkadang melafalkanngkan kakinya. “Uhhh.. ohhh.. ahhh.. ohhh.., terus Dik..!” desahnya tidak pasti. Meriam saya berdiri tegang dan Bu Ning tetap permainkan dengan tangannya. Kadang-kadang Bu Ning minta saya untuk mengulum bibir dan putingnya. Sesudah senang dengan permainan cumbu-cumbu kecil ini, Bu Ning kembali lagi ke kamarnya dan saya juga teridur dengan lelapnya.
Pagi-pagi Paman dan Bibi yang ternyata sudah awal lagi hari jemput saya, dan rumah Paman dan rumah Om Edy rupanya bersambungan dan cuma terbatasi sumur yang dipakai bersama-sama. Sesudah berbasa-basi sesaat, dan Bu Ning ucapkan jika saya telah dipandang anak sendiri, menjadi jika Paman dan Bibi pergi, saya dapat tidur di dalam rumah Om Edy. Kebenaran Paman di saat itu sedang menuntaskan pekerjaan pada akhirnya di PTN di kota ML. Kehidupan beberapa hari seterusnya kami lewati dengan biasa, tetapi jika sedang berpapakan di sumur kami selalu senyuman penuh makna, dan lama-lama membuat saya mulai jatuh hati ke Bu Ning, suka menyaksikan performanya yang anggun. Satu bulan selanjutnya Paman dan Bibi harus ke Ml, dan saya dipercayakan kembali pada Om Edy. Hari itu ialah hari Jumat.
Sesudah usai makan pagi, Om Edy pamitan untuk ke BTR sebab ada acara dari kantor sampai minggu sore, dan minta saya untuk jaga Bu Ning. Sesudah Om Edy pergi, saya dan Bu Ning mulai pekerjaan teratur, yakni membersihkan, dan sebagaimana umumnya Bu Ning selalu kenakan daster, tanpa CD. Saya disuruh Bu Ning supaya cukup menggunakan CD. Sekalian membersihkan kami bercakap-cakap, kecupan bibir dan mengulum putingnya. Saya berdiri mengangsu air dan Bu Ning jongkok sekalian mencium adik kecil saya, atau Bu Ning yang mengangsu air saya yang jongkok sekalian mencium klitorisnya yang mulai keluarkan cairan. Saat kami sama-sama birahi dan telah capai pucuk, Bu Ning saya gendong ke kamar. Di tempat tidur, Bu Ning saya pangku.
Sekalian mencium leher, samping kuping dan mengulum putingnya (menurut dia kuluman puting cepat membuat horny), selanjutnya Bu Ning ambil posisi terlentang dan minta saya untuk masukkan meriam saya yang sudah tegang semenjak tetap ada di sumur. Karena Bu Ning jarang-jarang melakukan, karena itu meriam saya perlu dibalurkan baby oil supaya gampang masuk ke dalam vaginanya yang telah basah dengan cairan yang beraroma ciri khas wanita. Pahanya dilebarkan, dilipatkan ada di belakang betis saya, bokongnya yang bahenol bergoyang turun naik.
Sekalian mencium keningnya, samping kupingnya, mengulum bibirnya, tangan kiri saya menyeka dan terkadang menggigit kecil putingnya atau menjilat leher dan dadanya. “Teruss.. Dikk..! Pencet..! Huh.. hah.. huh.. hahhh.. didesak.. enakkk sekali.. Ibu rasanya.. nikmattt… terusss.., Ibu sudah ingin nyampen nih.. dekap Ibu yang kuat Dikkk..!” desahnya menemani pergerakan kami. Sementara itu saya merasa kan semakin kuat capitan vagina Bu Ning. “Saya udahhh.. mauu.. jugaaa.. Bu..! Goyang.. Bu.., goyang..!” Dan akhir.., pembaca dapat merasainya sendiri.
Pada akhirnya kami terkulai lemas sekalian tidur berangkulan. Jam 4 sore kami bangun, dan mandi bersama-sama. Saya minta Bu Ning menungging, dan saya menyeka bokong dan vaginanya dengan baby oil. Ternyata usapan saya itu membuat Bu Ning kembali horny, dan minta saya untuk masukkan lagi adik kecil saya dengan posisi menungging.
Tangan saya permainkan ke-2 putingnya. “Terusss.. ohhh.. terusss.. yang dalam Dik..! Kok ini Ibu rasa lebih sedap..!” ucapnya. “Ibu goyang donk..!” pinta saya. Sekalian bokongnya digoyangkankan ke kanan dan ke kiri, saya lakukan pergerakan ambil dan masuk. “Oohhh.. ahh.. uhhh.. nikmat Dikkk.. terus..!” desahnya. Pada akhirnya Bu Ning meminta ke kamar, dan menukar posisi saya terlentang.
Bu Ning duduk sekalian mengisap putingnya. “Ohhh.. uhhh.. nikmat Dikkk..!” ucapnya. Terkadang ia merunduk agar bisa mencium bibir saya. “Ibu.. udahhh.. ingin nyampe kembali Dikk.. uhh.. ahhh..!” ucapnya mendekati pucuk kepuasannya. Dan pada akhirnya saya memuntahkan sperma saya, dan kami cicipi orgasme bersama-sama. Hari itu kami kerjakan sampai 3x, dan Bu Ning betul-betul menikmatinya. Malamnya kami cuma tidur tanpa kenakan selembar benang juga sekalian berangkulan. Dan esok harinya kami kerjakan hal yang masih sama seperti tempo hari, dan terasanya kami sedang berbulan madu, sampai kehadiran Om Edy.
Pengalaman dengan tutor seks saya ini rupanya masa datang ada pula faedahnya untuk hilangkan kejenuhan, karena mengajari bagaimana lakukan “foreplay” bersama pasangan saat sebelum sampai pada pucuk permainan. Disamping itu muncul sesuatu abnormalitas di kehidupan seks saya, hanya karena nikmati seks sesudah menyaksikan atau memikirkan atau melakukan secara wanita STW yang berkebaya/sanggul atau rambut disasak. Bulan akhir Februari tahun selanjutnya saya harus pergi ke Jakarta karena akan meneruskan kuliah disitu.
Tiap berlibur saya meluangkan diri untuk liburan di dalam rumah Paman dan berjumpa dengan pacar saya, dan Tutor seks saya Bu Ning yang selalu kenakan kebaya dan bersanggul. Dan jika ada peluang, kami mengulang permainan seks dengan skema permainan yang masih sama. Begitu cerita riil ini saya sembahkan untuk beberapa pembaca dan akan berlanjut di kesempatan selanjutnya, yakni perjalanan kehidupan seks saya seterusnya.
Comments are closed.