Biarkanlah, justru saya dapat semakin bebas salurkan keinginan. Karena pembantu yang lama keluar untuk kawin di dusunnya, saya mau tak mau cari gantinya pada agen. Tidak saja karena beragam tugas rumah tidak terurus, rasanya kehilangan “obat stress”. Salah seorang calon yang memikat perhatianku namanya Ningsih, baru berumur (nyaris) 16 tahun, wajahnya cukup manis, dengan lesung pipit. Matanya sedikit sayu dan bibirnya kecil seksi. Andaikan kulitnya tidak sawo masak (walaupun bersih dan mulus juga), ia telah mirip-mirip aktris film sinetron.
Cersex Bersambung – Walaupun imut, bodynya padat, dan yang paling penting, dari sikapnya saya percaya pengalaman gadis itu tidak selugas mukanya. Tanpa banyak bertanya, langsung ia kuterima. Dan sesudah sekian hari, bisa dibuktikan Ningsih memang lumayan cekatan mengurusi rumah. Tetapi seringkali juga saya mendapatinya sedang repot di dapur dengan kenakan kaos ketat dan rok yang mini. Tanpa sia-siakan peluang, saya merapat dari belakang dan kucubit paha gadis tersebut. Ningsih terpekik terkejut, tetapi sesudah sadar majikannya yang berdiri ada berada di belakangnya, dia cuma merengut manja.
Sore hari ini sehabis pulang kerja saya dibikin lagi melotot disajikan panorama yang ‘menegangkan’ saat Ningsih yang cuma berdaster tipis menungging sedang mengepel lantai, bokongnya yang montok bergoyang kiri-kanan. Terlihat garis celana dalamnya membayang dibalik dasternya. Tidak kuat biarkan bokong seseksi itu, kutepuk bokong Ningsih keras-keras. “Ngepel atau menyanyi dangdut sich? Goyangnya kok menggairahkan sekali!” Ningsih terkikik geli dengar komentarku, dan melanjutkan lagi kerjanya.
Dengan menyengaja bokongnya justru digoyangkan makin keras. Geli menyaksikan kelakuan Ningsih, kupegang bokong gadis itu kuat-kuat untuk meredam goyangannya. Saat Ningsih ketawa cekikikan, jempolku menyengaja mengelus selangkangan gadis itu, hentikan tawanya. Karena diam saja, perlahan-lahan kuelus paha Ningsih ke atas, menyingkapkan ujung dasternya.”Eh… Ndoro… jangan..!” hindari Ningsih lirih. “Tidak pa-pa, tidak perlu takut, Nduk..!” “Jangan, Ndoro… malu… jangan sekarang ini..!” Dengan tergesa Ningsih bangun membenahi ember dan kain pel, lantas segera ke arah dapur. Malam harinya melalui intercom saya panggil Ningsih untuk memijat punggungku yang pegal. Sepanjang hari penuh bersidang memang memerlukan stamina yang sempurna.
Supaya tenagaku sembuh untuk kepentingan esok, tidak ada kelirunya memberikan pengalaman ke orang baru.Gadis itu ada tetap dengan daster merah minimnya sekalian bawa minyak gosok. Ningsih duduk di atas tempat tidur di samping badanku. Sementara jari lentik Ningsih memijati punggung, kutanya, “Nduk, kamu telah mempunyai kekasih belum..?” “Di sini belum Ndoro…” jawab gadis tersebut. “Di sini belum..? Bermakna di luar sini ..?” Sekalian ketawa malu gadis itu menjawab kembali, “Dahulu di dusun saya sebelumnya pernah, tetapi telah saya putus.” “Lho, mengapa..?” “Habis ingin nikmatnya saja ia.” “Ingin nikmatnya saja bagaimana..?” kejarku. “Eh… itu, ya… penginnya ngajak gituan terus, tetapi jika dibawa kawin tidak mau.” Saya mengubah tubuh supaya dadaku ikut dipijat. “Gituan bagaimana? Memang kamu tidak sukai..?” Muka Ningsih memeras, “Ya… itu… ngajak kelonan… tidur telanjang bareng…” “Kamu ingin saja..?” “Ih, tidak! Jika hanya diminta ngemut burungnya saja sich tidak pa- pa. Ingin sampai usai bisa.
Tetapi lainnya Ningsih tidak mau..!” Saya ketawa, “Lha apa tidak belepotan..?” “Ah, tidak. Yang terpenting Ningsih senang tetapi tetep perawan.” Saya makin terbahak-bahak, “Jika kamu senang, terus mengapa diputus..?” “Setelah semakin lama Ningsih kesel! Ningsih jika dibawa macem-macem ingin, tetapi ia dibawa kawin justru bermain mata dengan cewek lain! Untung Ningsih hanya kasih emut saja, menjadi sampai saat ini Ningsih masih perawan.””Bermain emut terus begitu apa kamu tidak ingin coba yang betulan..?” godaku. Muka Ningsih memeras lagi, “Eh… ucapnya sakit ya Ndoro..? Terus dapat hamil..?” Sekarang Ningsih berlutut mengangkangi badanku sekalian menggosokannya minyak ke perutku. Saat gadis itu sedikit membungkuk, dari kembali dasternya yang kendur terlihat belahan buah dadanya yang montok alami tanpa penunjang apapun itu.
Sekalian tanganku mengelus-elus ke-2 paha Ningsih yang terkangkang, saya memikat, “Jika sama Ndoro, Ningsih memberi yang betulan atau hanya diemut..?” Pipi Ningsih sekarang merah padam, “Mmm… memang Ndoro ingin sama Ningsih? Ningsih kan hanya pembantu? Hanya pelayan?” “Nach ini namanya layani. Iya tidak?” Ningsih cuma tersenyum malu. “Aaah! Itu kan hanya kedudukan. Yang terpenting kan orangnya..!” “Ehm.., jika hamil bagaimana..?” “Jangan takut Nduk, jika hanya sekali tidak akan hamil. Kelak Ndoro yang tanggung-jawab..” Walaupun sedikit sangsi dan malu, Ningsih mengikuti dan melepaskan dasternya. Sekalian menempatkan bokongnya di atas pahaku, gadis itu secara tersipu silangkan tangannya untuk tutupi kemontokan ke-2 payudaranya.
Untuk sesaat saya memberikan kepuasan mata melihati badan montok yang hampir telanjang, sedangkan Ningsih dengan jemu buang muka. Dengan tidak sabaran kutarik pinggang Ningsih yang meliuk mulus supaya dia tiduran di sisiku. Sepanjang umur mungkin baru saja sekali ini Ningsih rasakan tiduran di kasur seempuk ini. Langsung kusergap gadis itu, kuciumi bibirnya yang tersenyum malu, pipinya yang lesung pipit, menggerayangi sekujur badannya dan meremas-remas ke-2 payudaranya yang kenyal menarik. Puting susunya yang kemerahan berasa keras mengacungkan.
Ke-2 payudara gadis itu tidak besar, tetapi montok cocok segenggaman tangan. Dan ke-2 bukit itu berdiri yang tegak melawan, tidak menggantung. Gadis dusun ini sedang ranum-ranumnya, siap untuk diambil dan dicicipi. “Mmmhh… Oh! Ahhh! Oh… Ndorooo… eh.. mmm… burungnya… ingin Ningsih emut dahulu tidak..?” bertanya gadis itu antara napasnya yang tersengal-sengal. “Lepas dahulu celana dalam kamu Nduk, baru kamu bisa emut.” Tersipu Ningsih bangun, lantas memelorotkan celana dalamnya sampai sekarang gadis itu telanjang bundar.
Perlahan-lahan Ningsih berlutut di sisiku, raih kejantananku dan dekatkan mukanya ke selangkanganku. Sekalian menyibakkan rambutnya, gadis itu sedikit terbeliak menyaksikan besarnya kejantananku. Mungkin dia memikirkan bagaimana benda berotot sebesar itu bisa masuk di badannya. Saya selekasnya rasakan kesan yang hebat saat Ningsih mulai mengulum kejantananku, mainkan lidahnya dan mengisap dengan mulut imutnya sampai pipinya ‘kempot’.
Gadis ini rupanya pandai membuat kejantananku cepat gagah. “Ehm… srrrp… mmm… crup! Ahmm… mmm… mmmh..! Nggolo (ndoro)..! Hangang keyas-keyas(jangan keras-keras)..! Srrrp..!” Gadis itu tergeliat dan protes saat saya raih payudaranya yang montok dan meremasinya. Tetapi saya tidak peduli, bahkan juga tangan kananku sekarang mengelus belahan bokong Ningsih yang bundar penuh, turun terus sampai ke bibir kemaluannya yang jarang rambutnya. Mahfum, masih perawan. Gadis itu tergelinjang tanpa berani bernada saat jariku menyibakkan bibir kemaluannya dan menelusup dalam kemaluannya yang perawan.
Merasa kejantananku cukup gagah, kusuruh Ningsih ambil pisau pangkas di meja, lantas kembali lagi ke atas tempat tidur. Tersipu-sipu gadis perawan itu ambil bantal berusaha untuk tutupi tertelanjangannya. Malu gadis itu mengikuti perintah majikannya tiduran terlentang menekuk lutut dan renggangkan pahanya, mempertunjukkan rambut kemaluannya yang cuma sedikit. Tanpa memakai foam, langsung kucukur habis rambut di selangkangan gadis itu, membuat Ningsih tergelinjang karena perih tanpa berani menampik. Sekarang bibir kemaluan Ningsih mulus kemerah-merahan seperti kemaluan seorang gadis yang belumlah cukup usia, tetapi dengan payudara yang kuat. Dengan cepat saya menindih badan montok menarik yang telanjang bundar tanpa satu helai benang juga tersebut.
Tersipu-sipu Ningsih buang muka dan tutupi payudaranya dengan telapak tangan. Tetapi selekasnya kutarik ke-2 tangan Ningsih ke atas kepalanya, lantas menyibakkan paha gadis itu yang telah mengangkang. Pasrah Ningsih pejamkan mata menunggu waktunya menyembahkan keperawanannya.
Gadis itu meredam napas dan menggigit bibir saat jariku permainkan bibir kemaluannya yang basah terangsang. Perlahan-lahan ke-2 paha mulus Ningsih terkangkang makin lebar. Saya menyapukan ujung kejantananku pada bibir kemaluan gadis itu, membuat napasnya makin mengincar. Perlahan-lahan tetapi tentu, kejantananku menerobos masuk ke kehangatan badan perawan Ningsih.
Saat selaput dara gadis manis itu sedikit merintangi, dengan gagah kudorong terus, sampai ujung kejantananku menyikat dasar lubang kemaluan Ningsih. Rupanya kemaluan gadis ini kecil dan benar-benar dangkal. Kejantananku cuma dapat masuk semuanya dalam kehangatan keperawanannya jika didorong lumayan kuat sampai menekan dasar kemaluannya. Itu juga selekasnya tertekan keluar kembali. Ningsih terpekik sekalian tergeliat rasakan pedih menusuk di selangkangannya saat kurenggutkan keperawanan yang sejauh ini sudah dijaganya baik.
Tetapi gadis itu cuma berani meremas-remas bantal di kepalanya sekalian menggigit bibir meredam sakit. Air mata gadis itu tidak berasa menitik dari pojok mata, mengaburkan pandangannya. Ningsih mendesah kesakitan saat saya mulai bergerak nikmati kehangatan kemaluannya yang terasanya ‘megap-megap’ dipenuhi benda sebesar tersebut. Tetapi merasa sakit dan pedih di selangkangannya perlahan-lahan tertutup oleh kesan geli-geli nikmat yang hebat. Setiap kali kejantananku menekan dasar kemaluannya, gadis itu tergelinjang oleh nyeri bersatu nikmat yang tidak pernah dirasanya.
Kejantananku seperti diremas-remas dalam lubang kemaluan Ningsih yang demikian ‘peret’ dan legit. Dengan gagah kudorong kejantananku sampai masuk semuanya dalam selangkangan gadis itu, membuat Ningsih tergelinjang-gelinjang sekalian mendesah nikmat setiap kali dasar kemaluannya disikat. “Ahh… Ndoro..! Aa… ah..! Aaa… ahk..! Oooh..! Ndorooo… Ningsih pengen… pih… pipiiis..! Aaa… aahh..!” Kesan nikmat hebat membuat Ningsih secara cepat terorgasme. “Tahan Nduk! Kamu tidak bisa pipis dahulu..! Nantikan Ndoro pipisin kamu, baru kamu bisa pipis..!” Dengan taat Ningsih kencangkan otot selangkangannya semaksimal mungkin berusaha meredam pipis, kepalanya menggeleng-geleng dengan mata terpejam, membuat rambutnya amburadul, tetapi sesaat kemudian… “Tidak tahan Ndorooo..! Ngh…! Ngh…! Ngggh! Aaaiii… iik..! Aaa… aaahk..!” Tanpa bisa ditahan-tahan, Ningsih tergelinjang- gelinjang di bawah tindihanku sekalian memekik dengan napas tersengal- sengal.
Payudaranya yang bundar dan kenyal bergetar menekan dadaku saat gadis itu merengkuh kuat badan majikannya, dan kemaluannya yang demikian rapat bergerak menyeruput-cucup. Bersandiwara geram, saya hentikan pacuannya dan menarik kejantananku keluar badan Ningsih. “Disebut jangan pipis dahulu kok bandel..! Awas jika berani pipis kembali..!” Terlihat kejantananku bersimbah cairan bening bersatu kemerahan, pertanda gadis itu benar-benar masih perawan. Gadis itu menduga majikannya telah usai, pejamkan mata sekalian tersenyum senang dan atur napasnya yang ‘senen-kamis’.
Di pangkal paha gadis itu terlihat darah perawan menitik dari bibir kemaluannya yang perlahan-lahan tutup. Saya menarik pinggang Ningsih ke atas, lantas menggerakkan sebuah bantal empuk ke bawah bokong Ningsih, membuat badan telanjang gadis itu cukup meliuk karena bokongnya diganjal bantal. Tanpa basa-basi kembali kutindih badan montok Ningsih, dan kembali kutancapkan kejantananku dalam lubang kemaluan gadis tersebut. Dengan posisi bokong tertahan, klentit Ningsih yang sensitif jadi sedikit mendangak.
Hingga saat saya meneruskan lagi tusukanku, gadis itu tergelinjang dan terpekik rasakan kesan yang bahkan juga lebih nikmat kembali dari yang baru saja. “Ingin terus apa brenti, Nduk..?” godaku. “Aii… iih..! He.. eh..! Terus Ndorooo..! Sedap..! Sedap..! Aahh… Aiii… iik..!” Badan Ningsih yang montok menarik tergelinjang-gelinjang dengan nikmat dengan napas terengah-engah antara pekikan-pekikan manjanya. “Ooo… ohh..! Ndoroo.., Ningsih ingin pipis.. lagi ii… iih..!” “Ini ditahan dahulu..! Tahan Nduk..!” “Aa.. aak..! Ampuuu… unnhh..! Ningsih tidak kuat… Ndorooo..!” Bersamaan teriakan manjanya, badan gadis itu tergeliat-geliat di atas tempat tidur empuk. Teriakan manja Ningsih makin keras setiap badan telanjangnya tergerinjal saat kusodok dasar lubang kegadisannya, membuat ke-2 pahanya tersentak mengangkang makin lebar, makin memudahkan saya nikmati badan perawannya.
Dengan gaungs semaksimal mungkin kuremas-remas ke-2 payudara Ningsih sampai terlihat berbekas kemerah-merahan. Demikian kuatnya remasanku sampai cairan putih susu menitik keluar putingnya yang kecoklat-coklatan. “Ahhhk..! Aaa.. aah! Aduu.. uhh! Sakit Ndorooo..! Ningsih ingin pipiiiiss..!” Bermaksud memikat gadis itu, saya hentikan sikatannya dan mengambil kejantanannya malah ketika Ningsih mulai orgasme. “Ingin pipis Nduk..?” tanyaku berpura-pura kecewa. “Oohh… Ndorooo… terusin donk..! Hanya ‘dikit, tidak pa-pa kok..!” rengek gadis itu manja. “Kamu itu tidak bisa pipis saat sebelum Ndoro pipisin kamu, tahu..?” saya terus bersandiwara geram.
Terlihat bibir kemaluan Ningsih yang gundul sekarang kemerah-merahan dan bergerak berdenyut. “Tidak! Tidak kok! Ningsih tidak berani Ndoro..!” Ningsih merengkuh dan berusaha menarik badanku supaya menindih lagi badannya. Rasanya sebentarlagi gadis itu ingin pipis untuk ke-3 kalinya. “Jika sampai pipis kembali, Ndoro akan geram, lho Nduk..?” kuremas ke-2 buah dada montok Ningsih. “Engh… Tidak. Tidak berani.” Muka gadis itu mengerut meredam pipis. “Awas jika berani..!” kukeraskan cengkraman tangannya sampai payudara gadis itu ibarat balon melotot dan cairan putih susu menetes lagi dari putingnya. “Ahk! Aah..! Tidak berani, Ndoro..!” Ningsih menggigit bibir meredam sakitnya remasan-remasanku yang bukanlah dilepaskan justru makin kuat dan cepat.
Itil V3
Tetapi gadis itu selekasnya rasakan ganjarannya saat kejantananku membantai lagi kemaluannya. Tidak sangsi kembali, Ningsih kembali tergoda tanpa ampun demikian dasar lubang kemaluannya didesak kuat. “Ngh..! Ngh..! Nggghhh..! Ahk… Aaa… aahhh..! Ndorooo… ampuuu… uun..!” Badan montok gadis itu tergerinjal bersamaan teriakan manjanya. Demikian pesatnya Ningsih capai pucuk membuat saya makin gaungs menekuni badan perawannya. Tanpa ampun kucengkeram ke-2 bukit montok yang berdiri melawan di hadapanku dan meremasinya dengan kuat, tinggalkan sisa kemerahan pada kulit payudara Ningsih. Sementara pacuan untuk pacuan kejantananku menyikat kemaluan gadis itu yang hangat menyeruput-cucup menarik, seperti meminta semprotan pucuk. Gadis tersebut sudah tidak tahu kembali mana atas mana bawah, kepuasan hebat tidak berhenti-hentinya terpancar dari selangkangannya.
Rasanya seperti ingin pipis tetapi nikmat hebat membuat Ningsih tidak sadar memekik-mekik manja. Ke-2 pahanya yang setiap hari umumnya disilangkan rapat-rapat, sekarang terkangkang lebar, sedangkan lubang kemaluannya tanpa bisa ditahan-tahan berdenyut menyeruput kejantananku yang demikian gagah mencabulinya. Sekujur badan gadis itu basah bersimbah keringat. “Hih! Rasain! Disebut jangan pipis! Ingin ngelawan ya..!” Gaungs kucengkeram ke-2 buah dada Ningsih erat-erat sekalian menghentakkan kejantananku sepanjang mungkin dalam kemaluan dangkal gadis tersebut.
Ningsih tergelinjang-gelinjang tidak memiliki daya setiap kali dasar kemaluannya disikat. Bokong gadis itu yang tertahan bantal empuk berkali-kali tersentak naik meredam nikmat. “Oooh… Ndorooo..! Ahk..! Ampun..! Ampun Ndoroo..! ..! Ampuuu.. unn..!” Ningsih mendesah meminta ampun tidak mampu kembali rasakan kegiuran yang tidak juga surut. Berlama-lama majikannya mencabulinya, seakan tidak pernah usai. Tidak berasa air matanya berlinang lagi membasahi pipinya. Ke-2 tangan gadis itu menggapai-gapai tanpa daya, paha mulusnya tersentak terkangkang setiap kali kemaluannya dipenuhi kejantananku, napasnya tersengal dan terputus-putus. Sisi dalam badannya berasa nyeri disikat tiada henti. Patah semangat Ningsih merengek-rengek meminta ampun, majikannya seperti tidak mengenal capek terus mencabuli kegadisannya. Untuk gadis itu ibarat sekian tahun dia sudah layani majikannya dengan pasrah.
Mengetahui sekarang Ningsih sedang terorgasme berkelanjutan, saya ambil paha Ningsih ke atas sampai sentuh payudaranya dan merapatkannya. Mengakibatkan kemaluan gadis itu jadi makin sempit menjepit kejantananku yang tetap menghentak masuk keluar. Ningsih berusaha mengangkang lagi, tetapi dengan gagah makin kurapatkan ke-2 paha mulusnya. Mata Ningsih yang bundar terbelalak dan berputar, dan bibirnya merah mengembang membuat huruf ‘O’ tidak ada suara yang keluar. Kesan di antara pedih dan nikmat yang hebat di selangkangannya sekarang semakin menjadi.
Saya makin semangat memacukan kejantananku dalam hangatnya cengkraman pangkal paha Ningsih, membuat gadis itu terpekik-pekik nikmat dengan badan tergerak membentak ke atas setiap kali kemaluannya disikat keras. “Hih! Rasain! Rasain! Nih! Nih! Nihh..!” saya makin marah rasakan kemaluan Ningsih yang demikian sempit dan dangkal seperti menyeruput- cucup kejantananku. “Ahh..! Ampuuu…uun… ampun… Ndoro! Aduh… sakiit… ampuuu… un..!”
Demikian rasakan kepuasan mulai mencapai puncak, dengan gaungs kuremas ke-2 payudara Ningsih yang kemerah-merahan berkilat bersimbah keringat dan cairan putih dari putingnya, menyanggakan semua berat badanku dalam tubuh gadis itu dengan ke-2 paha gadis itu terjepit antara badan kami, membuat badan Ningsih melesak dalam empuknya tempat tidur.
Teriakan ketahan gadis itu, gelinjangan badannya yang padat telanjang dan ‘peret’-nya kemaluannya yang perawan membuatku makin luar biasa menekuni gadis tersebut. “Aduh! Aduu… uuhh… sakit Ndoro! Aaah… aaamm… aaammpuuun… ampuuu… uun Ndoro.. Ningsih… pipiiii… iiis! Aaammm… puuun..!” Dan pada akhirnya kuhujamkan kejantananku sedalam-dalamnya penuhi kemaluan Ningsih, membuat badan telanjang gadis itu terlonjak dalam tindihanku, tetapi ketahan oleh cengkraman tanganku pada ke-2 buah dada Ningsih yang lembut mulus.
Tidak bisa kutahan, kusemburkan sperma dalam cucupan kemaluan Ningsih yang hangat menarik sekalian semaksimal mungkin meremas- remas ke-2 buah dada gadis itu, membuat Ningsih tergerinjal di antara sakit dan nikmat. “Ahk! Auh..! Aaa… aauuhh! Oh… ampuuu…uun Ndoro! Terus Ndoro..! Ampuuun! Amm… mmh..!Aaa… aaakh..!” Dengan senang saya jatuhkan badan disebelah badan Ningsih yang sintal, membuat gadis itu ikut terguling ke samping, tetapi selanjutnya gadis itu merengkuh badanku. Sekalian tersedu-sedu berbahagia, Ningsih merengkuh badanku dan mengelus-elus punggungku. Sekalian atur napas, saya berpikiran untuk meningkatkan upah Ningsih seringkali lipat, supaya gadis itu kerasan bekerja di sini, dan bisa melayaniku setiap waktu.
Dengan badan yang gemetaran dan lemas, Ningsih perlahan-lahan turun dari tempat tidur dan memulai melompat-lompat dari sisi tempat tidur. Keheranan saya menanyakan, “Ngapain kamu, Nduk..?” “Ucapnya… agar tidak hamil harus lompat.. lompat, Ndoro..” jawab gadis itu polos. Saya ketawa terpingkal-pingkal dengarnya, menyaksikan cairan kental menetes dari pangkal paha gadis itu yang mulus tanpa satu helai rambut juga.
Comments are closed.